Ada sebuah ungkapan
yang dikenal di kalangan orang-orang kerohanian, bahwa di dalam diri manusia
ada “ruang kosong? yang harus kita isi dengan hal-hal yang baik. Jika kita
tidak mengisinya dengan hal-hal yang baik, maka ruang kosong itu, otomatis akan
diisi dengan hal-hal yang buruk. Ibarat sebuah roda, ruang kosong itu adalah
yang menjadikannya sebagai roda. Metafor ini bisa dipakai untuk manusia: ruang
kosong itulah yang menjadikan kita berarti secara spiritual sebagai manusia.
Itulah: suara hati, atau hati nurani.
Apa yang berkaitan dan
sering dibicarakan sebagai "suara hati" conscience) ini dalam Islam
digambarkan dengan berbagai nama, qalb, fu`âd, lûbb, sirr, `aql, dan
sebagainya, yang semuanya berhubungan dengan pengertian kesadaran, atau biasa
disebut dalam wacana Islam sebagai "hati" (qalb, kalbu) saja, dari
kata qalaba yang artinya "membalik" --berpotensi bolak-balik: di
suatu saat merasa senang, dan di saat lain merasa susah, di suatu saat
menerima, di saat lain meolak. Sehingga hati seringkali tidak konsisten,
sehingga dibutuhkanlah cahaya Ilahi (maka disebut "hati-nurani" –yang
maknanya hati yang bercahaya). Hati bisa "bolak-balik" sebab,
kadangkala ia menerima bisikan malaikat (lammah malakîyah), kadangkala bisikan
setan (lammah syaithânîyah), kadangkala bisikan nafsunya sendiri.
Kedudukan hati ini
sangat penting dalam Islam, sehingga dalam Sufisme—pemikiran mistisisme
Islam—misalnya, menaruh uraian tentang hati ini dalam jantung ajarannya.
Walaupun kata "hati" ini barangkali kurang mengena bagi orang-orang
modern dewasa ini yang terbiasa dengan wacana ilmu pengetahuan yang rasional,
tetapi asing dengan istilah-istilah metafor—seperti "hati" yang lebih
banyak merupakan tamsil-ibarat dari ilmu-ilmu kearifan. Tetapi justru inti
ajaran agama—yang membawa manusia pada moralitas luhur (akhlâq al-karîmah) ada
dalam wacana suara hati ini.
Imam
al-Ghazali—seorang teolog besar Muslim abad 12—membahas soal suara hati ini
dalam salah satu babnya dalam buku Ihya’ Ulum-i al-Din yang sangat terkenal.
Pembahasan al-Ghazali tentang hati dalam buku tersebut, dapat dibandingkan
dengan pembahasan tentang “Kecerdasan Emosi? (Emotional Intelligence, EQ) dan
“kecerdasan spiritual? (spiritual intelligence, SQ) dalam psikologi
kontemporer. Dalam buku tersebut, al-Ghazali menjelaskan “hati? sebagai acuan
yang harus dikembangkan dalam pencapaian kehidupan rohani. Bahkan ia
menafsirkan hati sebagai esensi dari kemanusiaan itu sendiri. Ia membandingkan
hati dengan sebuah kaca yang mencerminkan segala sesuatu di sekelilingnya. Jika
hati ada dalam situasi yang kacau, di mana akal-budi (`aql) yakni potensi yang
dapat mengembangkan suara hati ini ditaklukkan dan tak dikenali, maka hati
menjadi “mendung dan gelap? (artinya orang mengalami perasaan-perasaan negatif
(sering disebut negative ego, dalam spiritualitas), akibatnya menjadi kurang
cerdas secara emosi dan spiritual, yang biasa disebut dalam tasawuf
"penyakit hati").
Sebaliknya jika
keseimbangan yang benar ditegakkan, kaca hati tersebut akan mencerminkan
kecemerlangan bidang rohani, dan dengan demikian terbukalah sifat-sifat langit,
dan terpantullah akhlak Allah. Sesuai dengan Hadits Nabi, “Hiasilah dirimu
dengan akhlak Allah.? Melalui dzikir kepada Allah, dan terhiasinya sifat-sifat
positif dari akhlak-Nya, maka suara hati ini (kesadaran moral) pun mencapai apa
yang dalam agama disebut “jiwa yang tenang? (nafs al-muthmainnah) yang
membuka pintu bagi kedekatan kepada Allah. Sehingga hati menjadi tempat bagi
ingatan akan Allah, sehingga akhirnya hati ini menjadi cahaya Allah. Hal ini
seperti diungkap dalam al-Qur’an: al-Nûr/24: 35.
Islam menyebut bahwa
melalui hati inilah manusia menemukan kesadaran ketuhanannya --yang nantinya
akan mempunyai segi konsekuensial pada kesadaran moral dan sosialnya. Kesadaran
yang disebut ketakwaan ini tumbuh dalam hati; sebaliknya dosa dan kekafiran
juga berkembang dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar